Bagi Prof Dr Irmina Kris Murwani MSi, mengajar merupakan passion hidupnya. Dua tahun vakum menjadi dosen untuk melanjutkan studi di Jerman membuatnya tidak betah. Tawaran bekerja di industri ternama dengan gaji tinggi ditolak demi mengejar passion.
PADA 22 Agustus 1988, Prof Irmina Kris Murwani mendapatkan SK dekan untuk legalitas mengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Dia sekadar mengisi waktu luang sembari menunggu prosesi wisuda sarjana.
Irmina resmi diwisuda pada 3 September 1988. Setelah itu, kegiatannya dihabiskan untuk mengajar di Fakultas MIPA ITS. Saat itu Irmina hanya menjalani rutinitas mengajar. Tiga tahun berjalan, akhirnya Irmina menemukan kesibukan baru. Dia menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kuliah S-2 dijalaninya selama empat tahun dengan sedikit tantangan. Hal tersebut berkaitan dengan status Irmina sebagai mahasiswa angkatan pertama Jurusan Kimia FMIPA ITS.
’’Karena kompetensinya belum diketahui, UGM meminta saya menjalani matrikulasi,’’ katanya. Matrikulasi merupakan tes menyelaraskan kemampuan mahasiswa dengan kemampuan minimal yang diperlukan untuk mengikuti program magister. Namun, dekan FMIPA ITS saat itu menjamin bahwa Irmina tidak memerlukan matrikulasi. Meski berkuliah di jurusan baru, kemampuan perempuan asli Surabaya itu layak diperhitungkan.
Setahun kuliah, Irmina berhasil membuktikan diri. Pakar katalis heterogen tersebut memang tidak suka diremehkan. Bagi dia, pintar saja tidak cukup. Tetapi, harus disertai disiplin dan kemauan yang kuat. Selesai pendidikan S-2, Irmina berniat melanjutkan ke jenjang S-3. Kali ini dia menarget perguruan tinggi luar negeri. Dia mengikuti kursus bahasa Inggris selama satu tahun demi mengasah kemampuan berbahasa asing. Gaji sebagai dosen saat itu jauh dari cukup. Karena itu, Irmina nyambi mengajar les untuk anak SMA. ’’Setiap ada waktu kosong di ITS, saya pakai untuk les anak sekolah,’’ terang dosen yang telah menghasilkan 11 publikasi internasional yang terindeks Scopus tersebut.
Akhirnya, pada 1999 Irmina memperoleh beasiswa dari Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD). Program S-3 kimia anorganik dia tempuh di Humboldt University, Berlin. Usut punya usut, keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Jerman terlintas di pikiran anak ketiga di antara tujuh bersaudara tersebut sejak menempuh S-1 di ITS. Kala itu Irmina sering memperhatikan zat-zat kimia di laboratorium. Kebanyakan bertulisan ’’Made in Germany’’. ’’Lalu, saya berpikir, enak ya kalau saya bisa belajar kimia langsung di Jerman, eh keturutan waktu S-3,’’ ungkapnya.
Dua tahun melakukan penelitian, perempuan kelahiran 24 Desember 1964 itu merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Sampai suatu ketika, dia diminta profesornya untuk menjadi asisten dan mengajar di salah satu kelas. Sensasi menjadi pengajar itulah yang disadari Irmina telah hilang selama berada di Jerman. ’’Di situ saya baru sadar, ternyata passion saya memang mengajar,’’ ujarnya.
Setelah kejadian tersebut, Irmina makin bersemangat menjadi dosen yang lebih baik. Bahkan, tawaran bekerja di industri yang disodorkan profesornya di Jerman dia tolak secara halus. Keinginan untuk mengajar makin kuat.
Sekembali ke Indonesia, Irmina menerapkan ilmunya. Karena dia sudah cinta, pekerjaan itu lebih ringan. Upaya untuk mencari inovasi pembelajaran juga lebih mudah. Peraih magna cum laude dari Humboldt University tersebut terus berusaha agar mahasiswanya mengerti materi yang diterangkan. ’’Kimia itu mudah kok,’’ ucapnya.
Salah satu cara penyampaian materinya adalah mengaitkan pada kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat menerangkan energi pada warna. Saat itu dia bertanya kepada mahasiswanya, mana warna pelangi yang memiliki energi paling besar. Otomatis, seluruh kelas berpikir sambil menerawang nilai-nilai yang terkandung pada setiap warna. Kebanyakan menebak warna merah.
Melihat mahasiswanya bingung, Irmina memberikan contoh nyala api pada kompor. Ketika memasak dan warna apinya merah, masakan makin lama matang. Namun, saat kompor dibersihkan dan api menyala biru, masakan lebih cepat matang. ’’Artinya, biru memiliki energi lebih besar daripada merah,’’ ungkap dosen yang telah mendapatkan dua hak paten tersebut. Para mahasiswa pun makin paham.
Menurut Irmina, ilmu yang disampaikan secara mendalam akan membawa manfaat bagi dirinya, mahasiswanya, dan orang lain. Tidak ada yang sia-sia baginya. Jika tidak dirasakan sekarang, dampak positif itu terasa pada kemudian hari.
Hal itu pula yang mendorongnya terus berkarya menghasilkan penelitian yang bermanfaat. Misalnya, metode pembuatan zeolit NaA dari sekam padi sebagai adsorben NOx dan katalis pada reaksi denitrifikasi yang telah mendapatkan sertifikasi hak paten nasional. Bahan tersebut adalah alat untuk menyerap zat berbahaya dari limbah industri.
Sumber: Jawa Pos, Edisi Kamis, 6 Maret 2017